Rabu, 29 Desember 2010

HUKUM MENAFSIRKAN AL-QURAN



Pendahuluan
Al-Quran Al-Karim memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifat. Salah satu di antaranya adalah bahwa ia merupakan kitab yang keotentikannya dijamin oleh Allah, dan ia adalah kitab yang selalu dipelihara dan tak akan lekang oleh waktu.
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm:   
Sesungguhnya Kami yang menurunkan Al-Quran dan Kamilah Pemelihara-pemelihara-Nya.” (QS 15:9)
Selain itu, Al-Quran yang merupakan bukti kebenaran Nabi Muhammad saw, sekaligus petunjuk untuk umat manusia kapan dan di mana pun, memiliki pelbagai macam keistimewaan. Keistimewaan tersebut, antara lain, susunan bahasanya yang unik, dan pada saat yang sama mengandung makna-makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, walaupun tentunya tingkat pemahaman mereka akan berbeda-beda tergantung horison yang melingkupinya.

Dengan demikian, manusia akan sulit menjangkau secara pasti maksud dari redaksi ayat-ayat Al-Quran, sebagaimana setiap redaksi yang diucapkan atau ditulis, kecuali oleh pemilik redaksi tersebut. Maka cukup beralasan kiranya kalau hal ini kemudian akan menimbulkan keanekaragaman penafsiran. Dalam hal Al-Quran, misalnya, para sahabat Nabi sekalipun, yang secara umum menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, tidak jarang berbeda pendapat, atau bahkan keliru dalam pemahaman mereka tentang maksud firman-firman Allah yang mereka dengar atau mereka baca itu.[1] Dari sini kemudian para ulama menggarisbawahi bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia (mufasir) dan bahwa kepastian arti satu kosakata atau ayat tidak mungkin atau hampir tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat tersebut secara berdiri sendiri.

Kebebasan dalam Menafsirkan Al-Quran

Jlka kita perhatikan perintah Al-Quran yang memerintahkan kita untuk merenungkan ayat-ayatnya dan kecamannya terhadap mereka yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar, dan bila kita perhatikan pula bahwa Al-Quran diturunkan untuk setiap manusia dan masyarakat kapan dan di mana pun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap manusia, meski di abad kita saat ini serta generasi berikutnya dituntut pula untuk memahami Al-Quran sebagaimana tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat yang menyaksikan turunnya Al-Quran.

Kemudian, bila disadari bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi bukan saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, oleh pengalaman, penemuan-penemuan ilmiah, oleh kondisi sosial, politik, dan sebagainya, maka tentunya hasil pemikiran seseorang akan berbeda satu dengan lainnya, sebagaimana dijelaskan di awal tadi.

Dari sini seseorang tidak dapat dihalangi untuk merenungkan, memahami, dan menafsirkan Al-Quran. Karena hal ini merupakan perintah Al-Quran sendiri. Namun demikian, pemahaman dan penafsiran tersebut harus dilakukan secara sadar dan penuh tanggung jawab.

Dalam kebebasan yang bertanggung jawab inilah timbul pembatasan-pembatasan dalam menafsirkan Al-Quran, sebagaimana pembatasan-pembatasan yang dikemukakan dalam setiap disiplin ilmu. Mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran bahkan malapetaka dalam kehidupan.

Dapat dibayangkan apa yang terjadi bila setiap orang bebas berbicara atau melakukan praktek-praktek dalam bidang kedokteran atau melakukan analisis-analisis statistik tanpa mempunyai pengetahuan tentang ilmu tersebut. Begitu juga dengan Al-Quran, tidak semua orang punya otoritas untuk menafsirkan Al-Quran. Ada standar keumuman yang harus dimiliki oleh setiap penafsir.

Pembatasan dalam Menafsirkan Al-Quran

Telah dikemukakan di atas bahwa Al-Quran mengecam orang-orang yang tidak memperhatikan kandungannya, dan bahwa para sahabat sendiri seringkali tidak mengetahui atau berbeda pendapat atau bahkan keliru dalam memahami maksud firman-firman Allah, sehingga dari kalangan mereka sejak dini telah timbul pembatasan-pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.

Ibn 'Abbas, yang dinilai sebagai salah seorang sahabat Nabi yang paling mengetahui maksud firman-firman Allah, misalnya, menyatakan bahwa tafsir terdiri dari empat bagian: pertama, yang dapat dimengerti secara umum oleh orang-orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka; kedua, yang tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak mengetahuinya; ketiga, yang tidak diketahui kecuali oleh ulama; dan keempat, yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.[2]

Dari pembagian di atas ditemukan dua jenis pembatasan, yaitu (a) menyangkut materi ayat-ayat (bagian keempat), dan (b) menyangkut syarat-syarat penafsir (bagian ketiga).
Dari segi materi terlihat bahwa ada ayat-ayat Al-Quran yang tak dapat diketahui kecuali oleh Allah atau oleh Rasul bila beliau menerima penjelasan dari Allah. Pengecualian ini mengandung beberapa kemungkinan arti, antara lain: (a) ada ayat-ayat yang memang tidak mungkin dijangkau pengertiannya oleh seseorang, seperti ya sin, alif lam mim, dan sebagainya. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah yang membagi ayat-ayat Al-Quran kepada muhkam (jelas) dan mutasyabih (samar), dan bahwa tidak ada yang mengetahui ta'wil (arti)-nya kecuali Allah, sedang orang-orang yang dalam 'lmunya berkata kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabih (QS 3:7).[3] Atau (b) ada ayat-ayat yang hanya diketahui secara umum artinya, atau sesuai dengan bentuk luar redaksinya, tetapi tidak dapat didalami maksudnya, seperti masalah-masalah metafisika, perincian ibadah an sich, dan sebagainya, yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran atau jangkauan akal manusia.

Apa pun yang dimaksud dari ungkapan sahabat tersebut, telah disepakati oleh para ulama bahwa tidak seorang pun berwenang untuk memberikan penafsiran-penafsiran terhadap ayat-ayat yang materinya berkaitan dengan masalah-masalah metafisika atau yang tidak dapat dijangkau oleh akal pikiran manusia. Penjelasan-penjelasan sahabat pun dalam bidang ini hanya dapat diterima apabila penjelasan tersebut diduga bersumber dari Nabi saw.[4]

Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905), salah seorang ahli Tafsir yang paling mengandalkan akal, menganut prinsip "tidak menafsirkan ayat-ayat yang kandungannya tidak terjangkau oleh pikiran manusia, tidak pula ayat-ayat yang samar atau tidak terperinci oleh Al-Quran." Ketika menafsirkan firman Allah dalam QS 101:6-7 tentang "timbangan amal perbuatan di Hari Kemudian", Abduh menulis: "Cara Tuhan dalam menimbang amal perbuatan, dan apa yang wajar diterima sebagai balasan pada hari itu, tiada lain kecuali atas dasar apa yang diketahui oleh-Nya, bukan atas dasar apa yang kita ketahui; maka hendaklah kita menyerahkan permasalahannya kepada Allah SWT atas dasar keimanan."[5] Bahkan, 'Abduh terkadang tidak menguraikan arti satu kosakata yang tidak jelas, dan menganjurkan untuk tidak perlu membahasnya, sebagaimana sikap yang ditempuh oleh sahabat 'Umar bin Khaththab ketika membaca abba dalam surat Abasa (QS 80:32) yang berbicara tentang aneka ragam nikmat Tuhan kepada makhluk-makhluk-Nya.[6]

Dari segi syarat penafsir, khusus bagi penafsiran yang mendalam dan menyeluruh, ditemukan banyak syarat. Secara umum dan pokok dapat disimpulkan sebagai berikut: (a) pengetahuan tentang bahasa Arab dalam berbagai bidangnya; (b) pengetahuan tentang ilmu-ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis-hadis Nabi, dan ushul fiqh; (c) pengetahuan tentang prinsip-prinsip pokok keagamaan; dan (d) pengetahuan tentang disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat. Bagi mereka yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas tidak dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran.

Dalam hal ini ada dua hal yang perlu digarisbawahi:

(1) Menafsirkan berbeda dengan berdakwah atau berceramah berkaitan dengan tafsir ayat Al-Quran. Seseorang yang tidak memenuhi syarat-syarat di atas, tidak berarti terlarang untuk menyampaikan uraian tafsir, selama uraian yang dikemukakannya berdasarkan pemahaman para ahli tafsir yang telah memenuhi syarat di atas.

Seorang mahasiswa yang membaca kitab tafsir semacam Tafsir Al-Misbah karya Prof. Quraish Syihab, atau Al-Azhar karya Hamka, kemudian berdiri menyampaikan kesimpulan tentang apa yang dibacanya, tidaklah berfungsi menafsirkan ayat. Dengan demikian, syarat yang dimaksud di atas tidak harus dipenuhinya. Tetapi, apabila ia berdiri untuk mengemukakan pendapat-pendapatnya dalam bidang tafsir, maka apa yang dilakukannya tidak dapat diterima, karena besar kemungkinan ia akan terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang menyesatkan.

(2) Faktor-faktor yang mengakibatkan kekeliruan dalam penafsiran antara lain adalah:
(a) Subjektivitas mufasir;
(b) Kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah;
(c) Kedangkalan dalam ilmu-ilmu alat;
(d) Kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat;
(e) Tidak memperhatikan konteks, baik asbab al-nuzul, hubungan antarayat, maupun kondisi sosial masyarakat;
(f) Tidak memperhatikan siapa pembicara dan terhadap siapa pembicaraan ditujukan.

Hukum Menafsirkan Al-Quran
Sebelum membincang lebih jauh mengenai hukum menafsirkan Al-Qur’an, penulis merasa berkepentingan untuk membincang terlebih dahulu hukum menerjemah AL-Qur’an.  Sudah jamak bahwa Al-Qur’an diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dengan menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak berarti bahwa Al-Qur’an hanya diperuntukkan oleh masyarakat Arab semata, namun oleh masyarakat Muslim—bahkan non-Muslim—di seluruh dunia. Bukankah misi Rasul kita adalah untuk seluruh umat manusia? Al-Qur’an sendiri menegaskan bahwa risalah Muhammad, dalam hal ini Al-Quran, tidak hanya terbatas pada satu tempat atau komunitas, namun bersifat universal.
ö@è% $ygƒr'¯»tƒ ÚZ$¨Z9$# ÎoTÎ) ãAqßu «!$# öNà6ös9Î) $·èŠÏHsd
“Katakanlah: ‘Wahai manusia, aku adalah utusan Allah kepada kamu semuanya.” (Al-A’raf: 158)
Mengingat pentingnya memahami kandungan Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu, maka kebutuhan untuk menerjemahkan Al-Qur’an juga perlu untuk mereka yang sama sekali tidak mengerti kandungan Al-Qur’an.
Adapun hukum menerjemahkan adalah sebagai berikut:
1.      Haram, apabila menerjemahkan Al-Qur’an secara harfiyah mengingat ia merupakan kalamullah yang diturunkan kepada Rasul-Nya dan merupakan mukjizat dengan lafazh dan maknanya, bahkan sekadar membaca pun bernilai ibadah.
2.      Mubah, apabila menerjemahkan Al-Qur’an dengan memperhatikan makna-makna asli yang lebih hakiki. Jika Al-Qur’an menggunakan lafazh dalam pengertian kiasan (majaz), maka proses penerjemahan hanya bisa dilakukan dengan mendatangkan satu lafazh yang sama dengan lafazh Arab yang dimaksud dalam pengertainnya yang hakiki. Inilah yang dinamakan dengan terjemah maknawiyah. Adapun terjemah tafsiriyah, yaitu menerjemahkan Al-Qur’an dengan mendatangkan makna yang lebih dekat, mudah dan kuat dengan penuh kejujuran dan kecermatan juga dibenarkan.

A.    Status Hukum Tafsir bil Ma’tsur
Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang berlandaskan pada riwayat yang shahih, dengan cara menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an atau dengan sunnah, yang merupakan penjelas kitab Allah. Atau dengan perkataan para sahabat yang merupakan orang-orang yang paling tahu tentang kitab Allah, atau dengan perkataan tabi'in yang belajar tafsir dari para sahabat.

Selain itu, tafsir jenis ini tergolong istimewa bila ditinjau dari sudut informasi kesejarahannya yang luas, serta objektivitas mereka dalam menguraikan riwayat itu, sampai-sampai ada di antara mereka yang menyampaikan riwayat-riwayat tanpa melakukan penyeleksian yang ketat. Imam Ahmad menilai bahwa tafsir yang berdasarkan riwayat, seperti halnya riwayat-riwayat tentang peperangan dan kepahlawanan, kesemuanya tidak mempunyai dasar (yang kokoh).[7] Karena itu, agaknya para pakar riwayat menekankan bahwa "Kami hanya menyampaikan dan silakan meneliti kebenarannya".[8]

Pegangan ini, secara umum, melemahkan metode riwayat, walaupun diakui bahwa sanad dari suatu riwayat seringkali dapat ditemukan. Namun, sebagian lainnya tanpa sanad. Yang ditemui sanadnya pun membutuhkan penelitian yang cukup panjang untuk menetapkan kelemahan dan kesahihannya. Kelemahan lainnya adalah bahwa mufasir seringkali disibukkan dengan pendapat si A dan si B, yang tidak jarang berbeda bahkan bertentangan satu dengan lainnya sehingga pesan-pesan ayat terlupakan.

Cukup beralasan sikap generasi lalu ketika mengandalkan riwayat dalam penafsiran Al-Quran. Karena, ketika itu, masa antara generasi mereka dengan generasi para sahabat dan tabi'in masih cukup dekat dan laju perubahan sosial dan perkembangan ilmu belum sepesat masa kini, sehingga tidak terlalu jauh jurang antara mereka. Di samping itu, penghormatan kepada sahabat, dalam kedudukan mereka sebagai murid-murid Nabi dan orang-orang berjasa, dan demikian pula terhadap tabi'in sebagai generasi peringkat kedua khair al-qurun (sebaik-baik generasi),[9] masih sangat berkesan dalam jiwa mereka. Dengan kata lain, pengakuan akan keistimewaan generasi terdahulu atas generasi berikut masih cukup mantap.
Kesemua itu sedikit atau banyak berbeda dengan keadaan masa sesudahnya apalagi masa kini, sehingga menggunakan metode riwayat membutuhkan pengembangan, di samping seleksi yang cukup ketat. Pengembangan ini tentunya dengan menggunakan nalar dan dari penalaran lahirlah metode tafsir bi al-ra'yi. Penjelasan mengenai jenis tafsir ini akan penulis jelaskan kemudian.

Kelebihan dan Kekurangan
Tentunya setiap corak atau metode memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Adapun di antara kelebihan tafsir bil ma’tsur ini adalah:
(a) Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
(b) Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
(c) Mengikat mufasir dalam bingkai teks ayat-ayat, sehingga membatasinya terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.
Sementara, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan jenis tafsir ini adalah:
(a) Terjerumusnya sang mufasir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan-pokok Al-Quran menjadi kabur dicelah uraian itu.
(b) Seringkah konteks turunnya ayat (uraian asbab al-nuzul atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian nasikh/mansukh) hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.

B.     Status Hukum Tafsir bi al-Ra’yi
Tafsir bi al-ra’yi adalah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya, Mufassir hanya perpegang pada pemahaman sendiri dan pengambilan kesimpulan (istinbath) yang didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam memahami Al-Qur’an tidak sesuai dengan ruh syariat yang didasarkan pada nash-nashnya. Mengandalkan rasio semata tanpa didasar bukti-bukti akan berakibat pada penyimpangan terhadap Kitab Allah.[10]

Para ulama telah berselisih pendapat mengenai kedudukan tafsir bi al ra’yi, sebagian membolehkan dengan cara ini, sedang yang lainnya tidak tidak memperbolehkannya. Masing-masing pihak mempunyai argumentasi sendiri-sendiri, namun bila ditinjau dengan teliti dan cermat ternyata perselisihan itu tidak menyangkut masalah prinsip, hanya menyangkut cara pengungkapannya saja. Oleh karena itu kedua pandangan tersebut bisa ditarik dan dipadukan, dimana tafsir bi al-ra’yi itu ada dua macam, yaitu:

a.       Tafsir bi al-ra’yi yang terpuji (al-Mahmud), yaitu: Penafsiran dengan ijtihad yang menggunakan kaidah dan persyaratan, sehingga jauh untuk menyimpang. Maka status hukum tafsir yang demikian ini dibenarkan.[11]
b.       Tafsir bi al-ra’yi yang tercela (al-mazmum), yaitu: apabila penafsirannya tidak memenuhi beberapa persyaratan, sehingga ia berada dalam kesesatan dan kejahilan. Maka hukum menafsirkan Al Qur’an yang tanpa berdasarkan ilmu, atau mengikuti hawa nafsu dan kehendaknya sendiri adalah haram. Allah berfirman:
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4
  
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya”. (QS, Al Isra’: 36)

Firman Allah lagi:
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.ÎŽô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ム¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ  

“Katakanlah: Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa. Melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu. Dan (mengharamkan) kamu mengatakan terhadap Allah dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui.” (Al A’raf: 33)[12]

Juga sabda Rasulullah saw: 


عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ

Artinya: Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma dia berkata, bersabda Rasulullah saw: “Barang siapa menafsirkan Al Qur’an dengan tanpa ilmu, maka siapkanlah tempatnya di neraka”.[13]

C.    Status Hukum Tafsir bil-isyari
Tafsir bil-isyarah atau tafsirul isyari adalah takwil Al Qur’an berbeda dengan lahirnya lafal atau ayat, karena isyarat-isyarat yang sangat rahasia yang hanya diketahui oleh sebagian ulul ‘ilmi yang telah diberi cahaya oleh Allah swt dengan ilhamNya. Atau dengan kata lain, dalam tafsirul isyari seorang Mufassir akan melihat makna lain selain makna zhahir yang terkandung dalam Al Qur’an. Namun, makna lain itu tidak tampak oleh setiap orang, kecuali orang-orang yang telah dibukakan hatinya oleh Allah swt.[14]

Hukum Tafsir bil-isyarah: Telah berselisih para ulama dalam menghukumi tafsir isyari, sebagian mereka ada yang memperbolehkan (dengan syarat), dan sebagian lainnya melarangnya.[15]

Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat. Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.

Berkata Imam Az Zarkasyi dalam Al Burhan: Perkataan orang-orang sufi dalam tafsir Qur’an adalah bukan tafsir.

Syarat-syarat diterimanya tafsir bil-isyari:
1.      Tidak meniadakan makna lahir ayat Al-Qur’an;
2.      Tidak menyatakan bahwa makna isyarat itu merupakan makna sebenarnya (makna satu-satunya), tanpa ada makna zhahir;
3.      Hendaknya takwil yang digunakan tidak terlalu jauh, sehingga tidak sesuai dengan lafadz;
4.       Tidak bertentangan dengan syari’at maupun akal;
5.      Dalam takwilnya tidak menimbulkan keraguan pemahaman manusia.[16]

Penutup

Demikianlah apa yang dapat penulis sajikan dalam makalah ini, semoga dapat memberi manfaat dan tambahan pengetahuan bagi kita semua. Penulis sadar bahwa di dalamnya masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Akhirnya Penulis berharap banyak saran dan masukan untuk perbaikan makalah lebih lanjut. Salam.





















Daftar Pustaka:


 
Al-Zahabiy, Muhammad Husain.  Al-Tafsir wa Al-Mufassirun. Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961. 
Ash Shobuni, Muhammad Ali. At Tibyan fi Ulum Al Qur’an. Lahore: Maktabah Rahmaniyah
Az Zarqani, Muhammad Abdul Adzim. Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an. Cet. II.  Beirut: Daar Ihya at Turats al Arabi, tt.
Al Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi Ulum Al Qur’an. Cet. II. Riyadh: Maktabah Al Ma’arif lin Nasyr wat Tawzi, 1996.
Ridha, Muhammad Rasyid. Tafsir Al-Manar, Vol. 2 .Kairo: al-Hay’ah al Misyriyah li al-Kitab, 1972 Suyuthi, Imam Jalaluddin. Al Itqan fi Ulum Al Qur’an. Cet. II.  Mesir: Al-Azhar, tt
Abduh,  Muhammad. Tafsir Juz 'Amma. Mesir: Dar Al-Hilal, 1962.
Al-Syarif, Mahmud. Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir. Jeddah: Dar Ukaz, 1984.


[1] Lihat Muhammad Husain Al-Zahabiy, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun (Mesir: Dar Al-Kutub Al-Haditsah, 1961),  59.
[2] Lihat lebih jauh Al-Zarkasyi, Al-Burhan fi 'Ulum Al-Qur'an (Mesir: Al-Halabiy, jilid II, 1957),. 164.
[3] Lihat Al-Sayuthi, Al-Itqan fi 'Ulum Al-Qur'an (Mesir: Al-Azhar, cet. 11, tt), 3.
[4] Al-Zahabiy, op.cit., 59.
[5] Syaikh Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma (Mesir: Dar Al-Hilal, 1962), 139.
[6] Ibid., 26.
[7] Lihat Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Vol. 2 (Kairo: al-Hay’ah al Misyriyah li al-Kitab, 1972)Al-Manar, Jilid H, 1367 H), 8.
[8] Mahmud Al-Syarif, Al-Thabariy Manhajuhu fi Al-Tafsir, (Jeddah: Dar Ukaz, 1984), 62.
[9] Penulis belum menemukan hadis yang menyatakan bahwa: "Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian disusul oleh sesudahnya (tabi'in), lalu disusul lagi oleh sesudahnya, dan sesudah mereka tidak lagi dinamai generasi terbaik (mungkin kawan-kawan ada yang bisa membantu)."
[10] Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Mabahits fi Ulum Al Qur’an (Riyadh: Maktabah Al Ma’arif lin Nasyr wat Tawzi’ Cet.II, 1417H/1996M), 376.
[11] Lihat Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, At Tibyan fi Ulum Al Qur’an (Lahore: Maktabah Rahmaniyah, Lahore), 157
[12] Syaikh Manna’ Khalil Al Qattan, Op.cit, 363.
[13] HR. Imam Tirmidzi dalam Kitab tafsirul Qur’an, Bab ما جاء في الذي يفسـر القـرآن برأيه , dan Imam Ahmad dalam Musnad Abdullah bin Abbas.
[14] Syaikh Muhammad Ali Ash Shobuni, Loc.cit, 171.
[15] Syaikh Muhammad Abdul Adzim Az Zarqani, Manahilul’irfan fi ulum Al Qur’an. Juz I, 546
[16] Ibid., 549

Tidak ada komentar:

Posting Komentar