Jumat, 31 Desember 2010

PENGARUH “KEBIJAKAN” KENAIKAN TARIF DASAR LISTRIK (TDL) TERHADAP INFLASI DI INDONESIA


Abstrak

Listrik merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Ia tidak hanya berfungsi memberi penerangan bagi kita terutama di malam hari, tapi banyak masyarakat yang menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti memasak nasi menggunakan rice cooker, menyimpan dan mengawetkan makanan dengan kulkas. Artinya, listrik sudah menjadi kebutuhan primer masyarakat, atau setidaknya menjadi jembatan pemenuhan kebutuhan primer hidup.
Demikian juga untuk menggerakkan sektor produksi dalam negeri, listrik memegang peranan sangat penting disamping faktor produksi lainnya. Artinya, kondisi listrik, termasuk tarifnya akan berpengaruh terhadap kondisi riil masyarakat, terutama persoalan harga barang. Maka, kenaikan TDL (Tarif Dasar Listrik) bias dipastikan memicu inflasi. Walaupun tidak berpengaruh besar terhadap inflasi di Indonesia secara keseluruhan. Dan hal ini akan berimbas pada masyarakat kecil sebagai korban.
Walaupun bagi pelanggan listrik yang berdaya 450-900 kWh tidak akan dikenakan kenaikan tarif dasar listrik, tetapi mereka akan merasakan dampak tidak langsung dari kenaikan tarif dasar listrik tersebut. Hal ini pada mulanya akan ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok masyarakat sebagai akibat naiknya harga salah satu faktor produksi, yaitu listrik.








BAB I
PENDAHULUAN



Memang serba susah menjadi pelanggan listrik PLN di negeri ini. Pasalnya, selain pelayanannya masih buruk dan kurang memuaskan masyarakat, ia seringkali ada pemadaman listrik (byar pet).
Padahal listrik merupakan salah satu kebutuhan utama masyarakat Indonesia. Dengan adanya listrik proses produksi yang dilakukan oleh industri-industri di Indonesia menjadi lebih cepat, efektif dan efisien. Karena posisinya yang begitu sentral itu, maka apapun kondisi atau sesuatu yang timbul dari listrik akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat, termasuk tarifnya. Sehingga, kebijakan pemerintah menaikkan TDL sekitar 10% hingga 15%, seperti kebijakan yang akan berlaku mulai awal Juli ini menambah beban bagi sebagian besar rakyat yang sebenarnya sudah sangat berat. Hal ini terjadi sebagai akibat meningkatnya biaya produksi di dunia usaha dan pada akhirnya akan memicu inflasi dalam negeri.
Walaupun kenaikan TDL tidak memberikan efek besar dalam inflasi, yaitu diperkirakan hanya 0,36-0,4%, namun dengan adanya kenaikan TDL tersebut, kebutuhan masyarakat akan berbagai jenis barang produksi, baik produksi makanan ataupun lainnya akan mengalami kenaikan harga akibat produsen menaikkan harga jual. Hal ini akan terus berlanjut karena pertengahan bulan Agustus sebagian besar warga negara Indonesia yang mayoritas muslim akan menjalani bulan Ramadhan dan diikuti dengan hari raya Idul Fitri. Otomatis dengan berbagai kondisi tersebut, kebutuhan akan barang-barang pokok akan melambung tinggi dan inflasi-pun akan semakin tak terhindarkan.






BAB II
PEMBAHASAN



A.    Fungsi Listrik Bagi Masyarakat
Listrik, dapat dikategorikan dalam barang yang “menguasai hajat hidup orang banyak”, sebagaimana ketentuan pasal 33 UUD 1945. Di dalam ilmu ekonomi listrik bisa menjadi barang publik atau barang swasta, karena ia bisa diproduksi oleh Negara atau perusahaan. Di negara yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ini, menyebabkan listrik diproduksi oleh Negara.
Di dalam sistem perekonomian sosialis, sebagian besar barang-barang swasta dihasilkan oleh pemerintah. Berbeda dengan sistem perekonomian liberal dimana sebagian besar barang-barang publik dihasilkan oleh sektor swasta. Sedangkan di dalam sistem ekonomi Indonesia yang mengedepankan keadailan sosial, pemerintah beserta aparatur negara harus menghitung dititik mana sumber-sumber ekonomi yang ada dihasilkan seoptimalkan mungkin sehingga tujuan masyarakat adil dan makmur tercapai.
Memang listrik bukanlah barang yang murni bersifat public goods, dalam arti tidak ada seorangpun yang mau membayar jika menggunakan barang tersebut. Jadi, jika sekian orang menggunakan listrik kemudian ada satu orang lagi yang menggunakan listrik maka tambahan satu orang ini tidak menambah biaya.
Maka dari pengertian di atas, listrik bisa dimasukkan kedalam kategori quasi public goods yang artinya seseorang harus mengorbankan pendapatannya guna menikmatinya. Karena biaya yang ditanggung sektor kelistrikan ini begitu besar, maka timbullah sifat monopoli ilmiah dimana hanya perusahaan Negara yang mampu menyelenggarakannya.
Listrik merupakan komoditi yang mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu yang tidak semua orang atau perusahaan dapat melakukannya. Pertama, adalah vitalnya, sehingga merupakan jasa publik yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak. Kedua, adalah sifatnya, yang merupakan natural monopoly, karena distribusi dan transmisinya yang tidak dapat dilakukan oleh banyak perusahaan sekaligus di dalam persaingan.
Makanya, PLN (Perusahaan Listrik Negara) menjadi salah satu BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang bergerak dalam bidang kelistrikan dan bertujuan menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi.[1]
PLN adalah monopolis bidang kelistrikan yang diberikan hak oleh pemerintah untuk melakukan monopoli. Monopoli jenis ini adalah monopoli yang tidak diusahakan untuk mendapatkannya, melainkan adalah monopoli yang diberikan.[2]
Kebutuhan energi listrik dari waktu ke waktu makin bertambah, seiring dengan pertambahan penduduk, perkembangan industri, perluasan wilayah, serta perkembangan teknologi dan kemajuan peradaban manusia. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak disertai dengan peningkatan daya yang diproduksi pihak perusahaan, sehingga mengakibatkan banyak daerah tidak mampu memenuhi kebutuhan energi sesuai dengan keperluannya. Hal ini kemudian menjadi sangat ironis ketika pemerintah justru menaikkan TDL.

B.     Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) sudah mulai terdengar sejak awal bulan April 2010 melalui pernyataan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Jacobus Purwono. Beliau menyebutkan bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif dasar listrik (TDL) bagi golongan daya 450-900 VA sebesar 10%, sementara bagi pelanggan di atas 900 VA atau menengah ke atas (konsumsi mulai dari 1.300 VA) akan terkena kenaikan dengan rerata 14%-18%.
Kenaikan TDL yang rencananya diberlakukan mulai awal Juli 2010 tersebut tidak berlaku bagi pelanggan kecil (450-900 VA) yang konsumsi listriknya di bawah 30 kWh per bulan. Sedangkan bagi pelanggan menengah ke atas (di atas 900 VA) tanpa pengecualian konsumsi listriknya dikenakan kenaikan.
Berikut lebih jelasnya rincian kenaikan TDL baru yang bakal diterima pelanggan listrik per 1 Juli 2010 mendatang:
I. Pelanggan Rumah Tangga (R)
1. Pelanggan R1 daya 1.300VA, rata-rata pemakaian listrik 200 kWh/bln, biaya pokok produksinya Rp1.163 per kWh, TDL sebelum naik rata-rata Rp672 per kWh, rata-rata kenaikan TDL ditetapkan sebesar 18%. Dengan demikian tarif baru yang mulai berlaku per 1 Juli mendatang rata-rata mencapai Rp793 per kwh.
2. Pelanggan Rumah Tangga R1, daya 2.200 VA, pemakaian listrik rata-rata 355 kwh per bulan, besaran biaya pokok produksi (BPP) Rp1.163 per kwh, TDL rata-rata sebelum naik Rp675 per kwh. Rata-rata kenaikan 18%, sehingga tarif baru sesudah naik rata-rata jadi Rp797 per kwh.
3. Pelanggan Rumah Tangga R2, daya 3.500 VA sampai dengan 5.500VA, rata-rata pemakaian listrik 636 kwh/bln, BPP mencapai Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp755 per kwh, dengan kenaikan sebesar 18%, maka tarif baru menjadi Rp891/kwh.
II. Kelompok Pelanggan Kelas Bisnis (B)
1. Untuk B1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 198kwh/bln, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp685/kwh, naik sebesar 16%, sehingga harga tarif baru menjadi Rp795/kwh.
2. Untuk B2, daya 2.200 VA-5.500VA. Rata-rata pemakaian 307 kwh/bulan, BPP Rp1.163/kwh, harga sebelum naik Rp782/kwh, naik 16%, tarif sesudah naik menjadi Rp907/kwh.
3. Untuk B3, di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian 212,249, BPP 839/kwh, harga sebelum Rp811/kwh, naik 12%, tarif sesudah naik menjadi Rp908/kwh.
III. Kelompok Pelanggan Industri (I)
1. Pelanggan I1, daya 1.300 VA, rata-rata pemakaian 178kwh/bln, BPP 1.163/kwh, tarif sebelum Rp724/kwh, dengan kenaikan 6%, maka tarif baru menjadi Rp767/kwh.
2. Pelanggan I2, daya 2.200 VA, rata-rata pemakaian 273 kwh per bulan, BPP Rp1.163/kwh, tarif sebelum naik Rp746/kwh, kenaikan 6%, maka tarif sesudah naik menjadi Rp790/kwh.
3. Pelanggan I3, daya 2.200VA sampai dengan 14 KVA, rata-rata pemakaian 872/kwh/bln, BPP Rp1.163, tarif sebelum naik Rp872/kwh, kenaikan 9%, maka tarif baru menjadi Rp916/kwh.
4. Pelanggan 14 KVA sampai dengan 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 11.342, BPP Rp839/kwh, tarif sebelum naik Rp805/kwh, kenaikan 9%, tarif baru Rp878/kwh.
5. Pelanggan di atas 200 KVA, rata-rata pemakaian per bulan 314.435, BPP Rp 839/kwh, TDL sebelum naik Rp641/kwh, kenaikan 15%, tariff baru menjadi Rp737/kwh.
6. Pelanggan di atas 30.000, rata-rata pemakaian 16.592.651, BPP Rp718/kwh, tarif sebelum naik 529/kwh, kenaikan 15%, tarif baru menjadi Rp608/kwh.[3]
Persetujuan kenaikan TDL dicapai dalam rapat kerja Komisi VII DPR dengan Menteri ESDM Darwin Saleh yang dipimpin Ketua Komisi VII DPR Teuku Riefky Harsya di Jakarta hari Selasa tanggal 15/6/2010.
Persetujuan Komisi VII DPR tersebut merupakan tindak lanjut UU Nomor 2 Tahun 2010 tentang APBN Perubahan 2010. Sesuai Pasal 8 UU 2 Tahun 2010, alokasi anggaran subsidi listrik ditetapkan Rp55,1 triliun dengan asumsi TDL dinaikkan rata-rata 10 persen mulai 1 Juli 2010 untuk menutupi kekurangan subsidi Rp4,8 triliun.
Dengan kenaikan 15 persen saja, pemerintah masih harus menambah subsidi listrik dari Rp 37,8 triliun dalam APBN 2010 menjadi Rp 54,5 triliun dalam RAPBN-P 2010. Namun jika TDL batal dinaikkan, maka subsidi akan bertambah Rp 7,3 triliun.

C.    Dampak-Dampak Kenaikan Tarif Dasar Listrik
Hal yang menarik untuk dikaji berkenaan dengan kenaikan TDL adalah dampak yang akan ditimbulkan terhadap kondisi ekonomi pelanggan kecil. Secara langsung, dampak kenaikan TDL tercermin dari meningkatnya angka inflasi.
Dalam ilmu ekonomi, inflasi adalah suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus-menerus (kontinu) berkaitan dengan mekanisme pasar. Ia dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain, konsumsi masyarakat yang meningkat atau adanya ketidak lancaran distribusi barang. Dengan kata lain, inflasi juga merupakan proses menurunnya nilai mata uang secara kontinu.
Inflasi adalah proses dari suatu peristiwa, bukan tinggi-rendahnya tingkat harga. Artinya, tingkat harga yang dianggap tinggi belum tentu menunjukan inflasi. Inflasi dianggap terjadi jika proses kenaikan harga berlangsung secara terus-menerus dan saling pengaruh-mempengaruhi. Istilah inflasi juga digunakan untuk mengartikan peningkatan persediaan uang yang kadangkala dilihat sebagai penyebab meningkatnya harga. [4]
Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka 10% setahun; inflasi sedang antara 10% - 30% setahun; inflasi berat antara 30% - 100% setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas 100% setahun.
Inflasi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu tarikan permintaan dan desakan biaya produksi.
1.      Inflasi tarikan permintaan (demand pull inflation) terjadi akibat adanya permintaan total yang berlebihan sehingga terjadi perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat. Jadi, inflasi ini terjadi karena suatu kenaikan dalam permintaan total sewaktu perekonomian yang bersangkutan dalam situasi full employment.
2.      Inflasi desakan biaya (cost push inflation) terjadi akibat meningkatnya biaya produksi (input) sehingga mengakibatkan harga produk-produk (output) yang dihasilkan ikut naik. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan 2 hal, yaitu; kenaikan harga, misalnya bahan baku; dan kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.
Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan sebenarnya kenaikan inflasi sebagai dampak langsung kenaikan TDL yang akan diterapkan Juli 2010 diperkirakan hanya sebesar 0,36%. Namun yang perlu dikhawatirkan adalah imbasnya terhadap sektor industri. Inflasi akan semakin membengkak bila kenaikan TDL itu kemudian menyebabkan efek ganda dan memicu para produsen menaikkan harga barang dan jasa secara sepihak.
Tambahan angka inflasi hingga 0,4%-0,5% tersebut telah dimasukkan dalam perhitungan angka inflasi dalam Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (RABN-P) 2010 yang dipatok di level 5,3%.
Jika tidak ada kenaikan TDL diperkirakan inflasi itu di kisaran 4,5-4,8%, namun untuk mengamankan inflasi dari kenaikan TDL dan hal-hal lainnya maka asumsi angka inflasi dalam RAPBNP 2010 dipasang di angka 5,3%.
Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) mulai 1 Juli 2010 mendatang akan memberikan dampak besar pada berbagai sektor, baik makro maupun mikro. Secara makro, dampak kenaikan TDL ditunjukkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi riil (GDP riil), menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan meningkatnya laju inflasi. Hal ini merupakan konsekuensi dari menurunnya sektor produksi akibat naiknya ongkos produksi (cost of production).
Dalam sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang sedang menghadapi era pasar bebas, kenaikan TDL pada Juli ini akan berdampak besar ke depannya. Apalagi Agustus 2010 sudah memasuki bulan Ramadhan yang meski dampak kenaikan TDL terhadap peningkatan harga barang kecil, namun tetap berdampak khususnya rakyat kecil.
Seharusnya kenaikan ini mempertimbangkan dampak terhadap kenaikan biaya/ongkos produksi dan biaya barang dari UMKM, yang akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Sebab, harus disadari kenaikan tarif dasar listrik (TDL) ini juga akan berdampak signifikan terhadap pelaku industri terutama baja, tekstil, petrokimia serta usaha kecil dan menengah (UKM), menyebabkan turunnya pendapatan riil rumah tangga golongan bawah yang notabene adalah sebagian besar pelanggan kecil dari PLN. Turunnya pendapatan tersebut pada gilirannya juga akan menurunkan permintaan akan barang dan jasa. Sektor ekonomi yang paling besar terkena dampaknya adalah sektor industri makanan yang akan mengalami penurunan permintaan.
Karena terjadi penurunan permintaan, para produsen akan mengurangi produksinya. Hal itu akan menyebabkan turunnya balas jasa atau insentif yang diterima para buruh. Sehingga pada akhirnya kenaikan TDL akan mengurangi pendapatan institusi, yaitu kelompok masyarakat paling bawah.
Sebenarnya, faktor penentu harga jual listrik yang terpenting adalah ketersediaan pasokan energi pembangkit. Atas dasar itu, langkah PLN untuk memastikan terhentinya pemadaman listrik (byar pet) pada 30 Juni 2010 harus dibayar dengan biaya energi yang tinggi.
Unbundling[5] juga bisa sebagai penyebab kenaikan harga tarif dasar listrik (HTDL) hingga 50 persen, karena setiap entitas (pembangkitan, transmisi dan distribusi) harus menanggung beban administrasi dan operasional sendiri-sendiri. Belum lagi dengan misi profitisasi PLN yang memprioritaskan laba daripada fungsinya sebagai public service obligation. Hal ini seiring dengan keikutsertaan swasta yang tidak akan membuat tarif listrik semakin murah tetapi semakin mahal karena swasta akan berupaya mendapat keuntungan lebih dari investasinya.
Selain itu, dampak negatif dari penurunan subsidi listrik pada sisi makro dan perdagangan internasional, terutama menurunnya pertumbuhan ekonomi, menurunnya tingkat kesempatan kerja, dan menurunnya daya saing perdagangan di pasar internasional, maka sebagai kompensasinya pemerintah perlu menempuh kebijakan lain terutama di sektor riil dengan menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dan efisien.
Kebijakan pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) cukup memukul dunia usaha Indonesia. Berikut ini contoh konkrit dampak TDL bagi kehidupan ekonomi. Misalnya, industri tekstil yang selama ini menjadi primadona di dalam pasar ekspor mengalami pukulan yang cukup telak. Apalagi saat ini pasaran tekstil internasional sedang mengalami kelesuan akibat melemahnya perekonomian dunia dan melimpahnya produk tekstil di pasar internasional, terutama dari Korsel dan Cina. Untuk mengantisipasi dan menyesuaikan kondisi ini, maka pengusaha tekstil dalam negeri harus lebih efektif menggarap pasar baru dan efisien dalam berproduksi serta mempunyai daya tawar dan daya jual yang lebih baik.
Kenaikan ini juga menjadi masalah yang cukup rumit bagi pengusaha tekstil karena berkaitan dengan perhitungan cost dan harga jual dengan buyer. Selama ini kontrak pesanan dilakukan tiga bulan sebelum produksi sehingga perhitungan harga jualnya masih menggunakan perhitungan sebelum kenaikan TDL. Hal ini akhirnya mengakibatkan turunnya marjin keuntungan yang diperoleh pengusaha tekstil karena tidak mungkin lagi menaikkan harga jualnya terhadap buyer.
Berdasarkan data dari Assosiasi Pertekstilan Indonesia pada Juni 2010, biaya produksi industri tekstil meningkat hingga 4,5 persen dimana komponen listrik menyumbang 30 persen dari keseluruhan biaya produksi tekstil.
Ada beberapa pilihan tindakan penyesuaian yang dapat dilakukan oleh pengusaha tekstil dalam menghadapi kenaikan TDL, antara lain :
1.      Rasionalisasi karyawan (PHK); dengan melakukan PHK terutama untuk karyawan bagian produksi (buruh) maka perusahaan bisa melakukan penghematan dalam hal upah buruh.
2.      Penurunan marjin keuntungan; risiko yang dihadapi pengusaha adalah pengurangan keuntungan perusahaan karena harga jual dengan buyer tidak bisa lagi dinaikkan sedangkan biaya produksi untuk kenaikan TDL mengalami peningkatan. Bahkan keuntungan juga berkurang karena harga bahan baku lokal ikut naik dengan rata-rata persentase kenaikan sebesar 10% - 15%. Perusahaan tidak melakukan rasionalisasi karyawan tetapi membiarkan marjin keuntungannya menurun. Akan tetapi hal ini tidak akan mampu bertahan lama karena pengusaha terutama PMA akan berpikir bahwa investasi di Indonesia tidak akan menguntungkan sehingga ada kecenderungan untuk mengalihkan atau memindahkan investasinya ke luar negeri. Apabila hal ini terjadi maka iklim investasi di Indonesia akan terganggu dan dunia usaha akan semakin mengalami kemunduran.
3.      Meningkatkan harga jual produk di pasar lokal; hal ini hanya bisa dilakukan oleh perusahaan lokal karena tidak ada kontrak pesanan dengan buyer di luar negeri. Dengan melakukan penghitungan ulang terhadap biaya produksi maka perusahaan bisa menaikkan harga jualnya sesuai dengan kenaikan biaya. Tindakan ini lebih cenderung berhasil jika konsumen juga mengalami peningkatan kemampuan daya beli. Kenyataan yang ada sekarang ini, walaupun daya beli konsumen meningkat akan tetapi mereka juga harus menyesuaikan dengan kenaikan harga kebutuhannya, misalnya kenaikan TDL untuk rumah tangga, kenaikan BBM, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok.
Ketiga alternatif pilihan tersebut sangat merugikan masyarakat. Apabila alternatif pertama ditempuh, perusahaan akan sedikit berhemat dalam cost upah buruh, tetapi dampaknya adalah terjadi PHK besar-besaran dan pengangguran dimana-mana. Hal ini jelas menambah beban pengangguran Indonesia, dimana masih banyak masyarakat Indonesia belum mendapatkan pekerjaan yang layak. Berdasarkan data yang diperoleh penulis, sekarang diperkirakan ada lebih dari 10 juta penganggur terbuka (open unemployed) dan 31 juta setengah penganggur (undremployed). Masalah pengangguran bukanlah persoalan kecil yang harus dihadapi oleh bangsa Indonesia dewasa ini dan ke depan.
Alternatif kedua berdampak pada keuntungan yang diperoleh perusahaan menurun akibat kenaikan TDL di satu sisi dan di sisi lain bahan baku juga mengalami kenaikan. Hal ini sangat merugikan perusahaan dan lebih lanjut timbul kekhawatiran perusahaan akan mengalami kebangkrutan atau malah gulung tikar.
Pilihan ketiga merupakan pilihan yang banyak ditempuh oleh perusahaan dalam bidang apapun, kenaikan TDL berimbas pada peningkatan harga jual produk. Ketika harga barang naik, secara ilmu ekonomi, maka permintaan akan barang tersebut akan menurun. Terlebih lagi apabila kenikan harga barang tidak dibarengi dengan kenaikan gaji/pendapatan masyarakat di sisi lain. Masyarakat golongan bawah yang akan benar-benar merasakan imbasnya.

D.    Sikap Pemerintah Dalam Mengatasi Dampak Kenaikan TDL
Kebijakan deregulasi dan debirokratisasi perlu lebih ditajamkan hingga menyentuh pada persoalan mendesak. Disamping itu, percepatan restrukturisasi sektor perbankan mutlak dilakukan guna mendukung bergeraknya sektor riil. Dengan demikian, dampak negatif kenaikan TDL pada perekonomian dapat direduksi dengan jalan penciptaan iklim usaha yang lebih favourable.  
Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah perlunya PLN melakukan sosialisasi sebelum kenaikan TDL diberlakukan kepada seluruh sektor, khususnya kepada sektor industri tekstil yang paling banyak menggunakan tenaga listrik dan tenaga kerja. Sosialisasi tersebut sangat penting untuk menghadapi masalah-masalah yang terjadi.
Selama ini kenaikan TDL lebih cenderung dilakukan secara mendadak bahkan tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Beberapa pengusaha mengeluh karena mereka tidak bisa melakukan antisipasi sebelumnya. Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah terlebih dahulu melakukan sosialisasi kenaikan TDL tersebut dengan mengadakan seminar/diskusi dengan dunia usaha sehingga perusahaan bisa melakukan tindakan antisipasi untuk produk berikutnya.
Seharusnya, masalah krisis listrik bukan diatasi dengan menaikan tarif, tetapi secara bijak mencari energi alternatif. Walaupun jalan yang harus ditempuh pada akhirnya adalah dengan menaikkan tarif listrik, catatan penting bagi PLN selaku pemegang otoritas bidang kelistrikan adalah pelayanan yang lebih baik dan tidak adanya byar pet yang akan menghambat jalannya produksi dalam negeri, merugikan perusahaan khususnya dan masyarakat pada umumnya,
Dampak dari kenaikan TDL tersebut akan semakin menghimpit masyarakat kecil karena akan memicu kenaikkan harga barang-barang. Sedangkan upah buruh maupun pegawai tidak mengalami kenaikan untuk menyesuaikan dampak kenaikan tersebut.
Melihat fenomena tersebut di atas, semestinya pemerintah berperan dalam mengatur kegiatan perekonomian sehingga ia dapat melakukan kegiatannya dengan lebih stabil dan selalu menuju ke tingkat kesempatan kerja penuh. Seperti diketahui berdasarkan teori Keynes, tanpa campur tangan pemerintah perekonomian suatu negara tidak akan mencapai tingkat kesempatan kerja penuh dan kestabilan kegiatan ekonomi tidak dapat terwujud. Akan terjadi fluktuasi kegiatan ekonomi yang lebar dari satu periode ke periode lainnya. Ini akan menimbulkan implikasi yang serius kepada kesempatan kerja dan pengangguran dan tingkat harga. Untuk menghindari masalah itu, Keynes menekankan perlunya campur tangan pemerintah.
Apabila kita flashback dan mencermati UU tentang ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002[6], sebenarnya UU tersebut tidak hanya akan membuat tarif listrik mahal tetapi juga melemahkan peran negara dalam mengatur urusan rakyat, sebab UU ini hanya mengizinkan pemerintah sebagai regulator. UU ini melanggengkan penjarahan atas kekayaan negeri ini. Ujung semua ini adalah pengalihan aset negara ke pihak asing. Pemerintah telah mentransaksikan nasib rakyat dengan kepentingan kelompok. Kiranya mereka lupa bahwa BUMN itu dibangun dengan uang rakyat sudah seharusnya berfungsi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan hak dasar rakyat.
Sekali lagi, pemerintah perlu berhitung lebih cermat tiap kali akan menaikkan TDL. Kebijakan menaikkan TDL perlu dibarengi dengan pelayanan yang lebih baik, tidak ada pemadaman bergilir (byar pet), dan perbaikan usaha penyediaan lapangan kerja yang diharapkan berdampak pada peningkatan pendapatan terutama pada masyarakat paling bawah. Tanpa usaha tersebut kenaikan TDL akan berdampak negatif karena akan menurunkan pendapatan riil masyarakat.
Kenaikan TDL bukan satu-satunya solusi untuk mengurangi subsidi, tapi harus diikuti dengan langkah-langkah terobosan berupa peningkatan efisiensi dari produk listrik, baik efisiensi dalam overhead cost yang masih harus ditekan maupun direct cost.























BAB III
KESIMPULAN



Dari sedikit pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa kenaikan tarif dasar listrik (TDL) dengan dalih apapun, tetap saja tidak memihak rakyat terutama golongan menengah ke bawah. Dampak kenaikan tersebut secara langsung akan menggerus pendapatan masyarakat kecil dan juga akan memicu inflasi di Indonesia walaupun tidak begitu besar.
Inflasi akan terjadi akibat dari kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok dan barang-barang substitusi yang disebabkan kenaikan TDL yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2010.
Pemerintah hendaknya mempertimbangkan dampak tidak langsung dari “kebijakan” menaikkan TDL, bukan hanya dampak langsung yang hanya diperhitungkan. Karena justru dampak tidak langsung  inilah yang cukup menyengsarakan rakyat kecil dan itu akan berlangsung lebih lama.




















DAFTAR PUSTAKA



Rasyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Sukirno, Sadono, Makro Ekonomi Modern; Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

WWW. PLN. com

......................, “Kenaikan TDL Pasti Akan Menambah Beban Rakyat Kecil”, dalam
………, “Daftar  Kenaikan Tarif Listrik per 1 Juli 2010”, dalam,  http://oxana.blogdetik.com/2010/06/16/daftar-kenaikan-tarif-listrik-per-1-juli-2010/. (25 Juni 2010)
Djoko Purwanto, “Mewaspadai Dampak Kenaikan Harga BBM dan TDL”, dalam  http://dipisolo.tripod.com/content/artikel/bbm_dan_tdl.htm. (23 juni 2010).


Hatta Radjasa, “Dampak Kenaikan TDL ke Industri Tidak Terlalu Besar”, dalam http://www.vibizdaily.com/detail/Bisnis/2010/06/22/hatta_dampak_kenaikan_tdl_ke_industri_tidak_terlalu_. (22 Juni 2010).
Muhammad Ma’ruf, Analisis Kecil-Kecilan Terhadap Kenaikan TDL, dalam http://ngedobos.blogspot.com/2010/03/analisis-kecil-kecilan-kenaikan-raif.html. (23 Juni 2010).
UU No. 20 Tahun 2010 tentang “Ketenagalistrikan”, dalam, http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2002/20-02.pdf . (25 Juni 2010).


[1] WWW. PLN. com
[2] Suherman Rasyidi, Pengantar Teori Ekonomi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 369.
[3] http://oxana.blogdetik.com/2010/06/16/daftar-kenaikan-tarif-listrik-per-1-juli-2010/
[4] Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Modern; Perkembangan Pemikiran Dari Klasik Hingga Keynesian Baru, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), 10.
[5] Unbundling merupakan langkah menuju privatisasi dan divestasi sebagaimana disebut dalam road map Buku Putih Departemen Pertambangan dan Energi tahun 1998. Di dalamnya disebutkan bahwa liberalisasi sektor ketenagalistrikan dilakukan melalui tahapan unbundling, profitisasi dan privatisasi. Unbundling (pemecahan) secara vertikal dilakukan dengan membentuk pembangkitan, transmisi dan distribusi secara terpisah yang dijalankan dengan mekanisme pasar. Artinya mulai dari pembangkit hingga ke bagian ritail akan dijual ke swasta. Setiap entitas sudah ada yang punya, tidak lagi ditangani oleh PLN. Sedangkan pemecahan horizontal dilakukan melalui pembentukan perusahaan distribusi berdasarkan wilayah.
[6] http://www.bpkp.go.id/unit/hukum/uu/2002/20-02.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar