Rabu, 29 Desember 2010

OUTSOURCING MENURUT UU NO 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DALAM MENEKAN ANGKA PENGANGGURAN DALAM PERSPEKTIF ISLAM


 

A.  Pendahuluan

Perkembangan ekonomi global dan kemajuan teknologi yang begitu cepat membawa dampak timbulnya persaingan usaha yang begitu ketat yang terjadi hampir di semua jenis usaha. Lingkungan yang sangat kompetitif ini menuntut dunia usaha untuk menyesuaikan dengan tuntutan pasar yang memerlukan respon yang cepat dan fleksibel dalam meningkatkan pelayanan terhadap pelanggan. Untuk itu diperlukan suatu perubahan struktural dalam pengelolaan usaha dengan memperkecil rentang kendali manajemen sehingga dapat lebih efektif, efisien dan produktif.
Persaingan dalam dunia bisnis antar perusahaan membuat perusahaan harus berkonsentrasi pada rangkaian proses atau aktivitas penciptaan produk dan jasa yang terkait dengan kompetensi utamanya. Dengan adanya konsentrasi terhadap kompetensi utama dari perusahaan, akan dihasilkan sejumlah produk dan jasa memiliki kualitas yang memiliki daya saing di pasaran.
Dalam iklim persaingan usaha yang makin ketat, perusahaan berusaha untuk melakukan efisiensi terhadap biaya produksi (cost of production).[1]Salah satu solusinya adalah dengan sistem outsourcing, dimana dengan sistem ini perusahaan dapat menghemat pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia (SDM) yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[2] Dalam kaitan itulah dapat dimengerti apabila kemudian muncul kecenderungan perusahaan untuk mempekerjakan karyawannya dengan menggunakan sistem kerja outsourcing yaitu menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang tadinya dikelola sendiri dan kegiatan semacam ini semakin marak dilaksanakan perusahaan karena sudah menjadi kebutuhan bagi pelaku dunia usaha. Namun di sisi lain marak juga unjuk rasa pekerja/buruh menolak penggunaan outsourcing di Indonesia karena banyak disalahgunakan oleh perusahaan.[3] Lantas bagaimana sesungguhnya penggunaan sistem outsourcing di Indonesia yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra antara pengusaha dan pekerja/buruh. Bagaimana ketentuannya dan adakah manfaatnya?
Oleh karena itu sejak diundangkannya Undang-undang No.13 Tahun 2003  tentang Ketenagakerjaan, outsourcing pekerja menjadi marak untuk diperbincangkan. Outsourcing  merupakan suatu hubungan kerja dimana pekerja/buruh yang dipekerjakan di suatu  perusahaan dengan sistem kontrak. Akan tetapi kontrak tersebut bukan diberikan oleh perusahaan pemberi kerja, melainkan oleh perusahaan pengerah  tenaga kerja. Dalam hal ini para pengusaha merasa aman dalam rangka efisiensi biaya produksi (cost of production) jika buruh yang dioutsourcingkan adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Maka yang bertanggung  jawab terhadap buruh-buruh outsousing tersebut adalah perusahaan jasa pekerja tersebut.
Dengan adanya bisnis outsourcing selain mengatasi tingginya angka pengangguran, para pekerja merasa lebih bangga bekerja sebagai profesional di perusahaan multinasional dengan penghasilan yang jauh lebih besar. Melihat begitu besarnya uang beredar di bisnis outsourcing, maka tidak heran negara-negara seperti India dan China sudah mempersiapkan SDM-nya untuk menjadi bagian dari trend global outsourcing, dan bagaimana dengan Negara Indonesia?

B.   Pengertian Outsourcing

Outsourcing dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya sedangkan pengertiannya adalah pendelegasian operasional dan manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (Perusahaan penyedia jasa/buruh).[4] Pendapat serupa juga dikemukakn oleh Amin Widjaja Tunggal dalam bukunya “Outsourcing Dan Kasus” yang mendefenisikan outsourcing sebagai proses pemindahan pekerjaan dan layanan yang sebelumnya dilakukan di dalam perusahaan ke pihak ketiga.[5]
Sedangkan dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sendiri tidak mendefenisikan secara jelas tentang outsourcing, hanya saja dalam undang-undang ini disebutkan tentang kebolehan untuk melaksanakan oursourcing, yaitu: Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.[6]
Dari pengertian diatas, dapat diketahui adanya komponen-komponen dalam outsourcing, yaitu pekerja/buruh, perusahaan, pemborong pekerjaan dan penyedia jasa pekerja/buruh.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[7]
Pengusaha adalah :
1.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan yang bukan miliknya.
3.      Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia yang mewakili perusahaan sebagaimana yang dimaksud dalam huruf  a dan b diatas yang berkedudukan diluar wilayah Indonesia.[8]
Sedangkan yang dimaksud dengan perusahaan yang selanjutnya disebut perusahaan pemberi pekerjaan adalah :
a.       Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau yang bukan berbadan hukum, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta ataupun milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b.      Usaha-usaha sosial atau usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Kemudian yang dimaksud dengan pemborong pekerjaan yaitu perusahaan lain yang menerima penyerahaan sebagian pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, sedangkan penyedia jasa pekerja/buruh atau bisa disebut dengan vendor adalah perusahaan berbadan hukum yang dalam kegiatan usahanya menyediakan jasa pekerja/buruh untuk dipekerjakan diperusahaan pemberi pekerjaan.[9]
Pada dasarnya memang hampir sama antara pemborong pekerjaan dengan penyedia jasa pekerja/buruh, hanya saja untuk pemborongan pekerjaan lebih cenderung ke arah sub contracting pekerjaan di bandingkan dengan tenaga kerja.

C.   Syarat-Syarat Outsourcing

Sebuah bisnis outsourcing dapat di laksanakan dan sah menurut hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut yang disebutkan dalam pasal 65 UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagkerjaan, yaitu :
1.      Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain yang dilaksanakan melalui perjanjian pemberongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
2.      Pekerjaan yang diserahkan dari kegiatan kepada pihak lain, harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut ini :
a.       Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun kegiatan pelaksanaan pekerjaan.
b.      Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
c.       Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan alur kegiatan kerja perusahaan pemberi pekerjaan.
d.      Tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut adalah merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana biasanya.
2.      Dalam penjelasan undang-undang ini, menerangkan tentang kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan diluar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan tersebut antara lain : usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.  
Perusahaan lain (yang di serahi pekerjaan) harus berbentuk badan hukum.[10] Ketentuan ini di kecualikan bagi :
a.       Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang pengadaan barang.
b.      Perusahaan pemborong pekerjaan yang bergerak di bidang jasa pemeliharaan dan perbaikan serta jasa konsultasi yang dalam melaksanakan pekerjaan tersebut mempekerjakan pekerja/buruh kurang dari 10 (sepuluh) orang.
Apabila pemborong pekerjaan tersebut akan meyerahkan lagi sebagian pekerjaan yang diterima dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan tersebut dapat diberikan kepada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum. Namun jika perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum tersebut tidak melaksanakan kewajibannya memenuhi hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja, maka perusahaan yang berbadan hukum yang bertanggung jawab dalam memenuhi kewajiban tersebut.[11]
Apabila dalam satu daerah tidak terdapat perusahaan pemborong pekerjaan yang berbadan hukum atau terdapat perusahaan pemborong pekerjaan berbadan hukum tetapi tidak memenuhi kualifikasi untuk dapat melaksanakan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, maka penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan dapat diserahkan pada perusahaan pemborong pekerjaan yang bukan berbadan hukum dan perusahaan tersebut harus bertanggung jawab untuk memenuhi hak-hak pekerja/buruhnya. Serta harus di tuangkan dalam perjanjian pemborongan pekerjaan antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan pemborong pekerjaan.
Sedangkan secara rinci syarat sebagai penyedia jasa tenaga kerja atau outsourcing yaitu harus memiliki bukti-bukti sebagai berikut:[12]
a.       Ijin dari Dinas Ketenagakerjaan sebagai penyedia jasa tenaga kerja.
b.      Akta pendirian perusahaan badan hukum (PT/Koperasi) (pengecualian sesuai keputusan menteri No 220./2004 pasal 3 ayat 2 dan 3).
c.       SIUP (Surat Ijin Usaha Perdagangan).
d.      NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak).
e.       Perjanjian kerjasama/service agreement antara prinsipil dengan vendor.
f.       Wajib lapor ketenagakerjaan.
g.      Peraturan perusahaan yang disahkan oleh Dinas Ketenagakerjaan.
4.      Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan di atur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan pekerja yang dipekerjakannya.
5.      Hubungan kerja antara perusahaan lain dengan pekerja/buruh dapat di dasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
6.      Bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain syarat-syarat mengenai pekerjaan yang di serahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan.[13]

D.  Bentuk Perjanjian

Hubungan kerjasama antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan tentunya diikat dengan suatu perjanjian tertulis. Perjanjian dalam outsourcing dapat berbentuk perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.[14] Dan perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memenuhi syarat syah perjanjian seperti yang tercantum dalam pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:[15]
1.      Sepakat, bagi para pihak.
2.      Kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan.
3.      Suatu hal tertentu.
4.      Sebab yang halal.
Sesuai dengan undang-undang ini bahwa perjanjian dalam outsourcing terdapat 2 (dua) tahapan, yaitu:
1.      Perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh:
Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja yang dibuat secara tertulis. Berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi No. Kep.101/MEN/VI/2004 apabila perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan, kedua belah pihak wajib membuat perjanjian tertulis yang sekurang-kurangnya memuat:
a.       Jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa.
b.      Penegasan bahwa dalam melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud huruf (a), hubungan kerja yang terjadi adalah antara perusahaan penyedia jasa dengan pekerja/buruh yang dipekerjakan perusahaan penyedia jasa sehingga perlindungan dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
c.       Penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis-jenis pekerjaan yang terus-menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Selanjutnya perjanjian tersebut harus didaftarkan pada instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melaksanakan pekerjaan dengan melampirkan draft perjanjian kerja.
Dalam melakukan pendaftaran instansi yang bertangung jawab di bidang ketenagakerjaan melakukan penelitian. Apabila telah memenuhi ketentuan, maka diterbitkan bukti pendaftaran, namun apabila tidak sesuai dengan ketentuan, maka pejabat instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan  memberikan catatan pada bukti pendaftaran hal-hal yang tidak sesuai dengan ketentuan.[16]
Sedangkan isi pokok perjanjian kerja/perjanjian jasa (penyediaan) kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk melakukan kerjasama outsourcing yang berisi:[17]
a.       Bahwa status pekerja adalah pekerja di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan bukan pekerja di perusahaan pemberi pekerjaan.
b.      Yang berhak memberikan Serikat Pekerja (SP) adalah perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
c.       Di perjanjikan bila terjadi PHK (Putus Hubungan Kerja) siapa yang bertanggung jawab atas hak-hak pekerja.
d.      Di perjanjikan apakah di tengah masa kontrak dapat dilakukan Replacement (pengganti) terhadap pekerja yang di kontrak oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
e.       Di perjanjikan apakah status pekerja tersebut perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).
f.       Di perjanjikan apakah perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh mau menerima pengalihan pekerjaan yang di sesuaikan dengan syarat-syarat kerja yang ada di perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
g.      Di perjanjikan pihak mana yang bertanggung jawab atas pelatihan dan pembinaan terhadap pekerja.
h.      Di perjanjikan untuk jangka waktu berapa lama kerjasama akan dilaksanakan.
i.        Berisi tentang hak dan kewajiban perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
j.        Berisi tentang hak dan kewajiban  perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
k.      Berisi tentang standar kinerja yang di tetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
l.        Berisi tentang tanggung jawab atas pelaksanaan biaya-biaya kompensasi pekerja, seperti Asuransi, JamSosTek, dsb.
m.    Berisi tentang klausula perubahan yang mungkin terjadi dengan kesepakatan para pihak.
Di dalam keputusan Menteri No. KEP.220/MEN/X/2004 dijelaskan bahwa perusahaan pemberi pekerjaan yang akan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan pemborong pekerjaan wajib membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan serta menetapkan jenis-jenis pekerjaan yang utama dan penunjang berdasarkan ketentuan undang-undang yang kemudian di laporkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.[18]
2.      Perjanjian Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/buruh Dengan Karyawan.
Perjanjian kerja antara karyawan dengan perusahaan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dapat berupa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) maupun Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT).[19]
Dalam undang-undang ini pasal yang mengatur tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah pasal 56 sampai dengan pasal 60 yang secara jelasnya berisi bahwa perjanjian kerja waktu tertentu didasarkan atas jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu. Sedangkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu diadakan dengan waktu yang tidak ditentukan atau hubungan kerja yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia serta huruf latin. Namun, jika perjanjian kerja tersebut dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, maka apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Untuk perjanjian kerja yang tidak dibuat secara tertulis betentangan dengan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut dinyatakan sebagai perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Dalam hal perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini tidak boleh mensyaratkan adanya masa percobaan kerja. Dan jika itu tetap dijalankan, maka masa percobaan kerja yang disyaratkan tersebut batal demi hukum.
Disamping itu, perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
a.       Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.
b.      Pekerjaan yang bersifat musiman.
c.       Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 tahun.
d.      Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap, dan perjanjiannya hanya dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Untuk bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, pengusaha dapat melaksanakannya dengan paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja tertentu tersebut berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
Sedangkan untuk memperbarui perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya bisa dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, dan pembaharuan ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dengan waktu paling lama 2 (dua) tahun. Dan selama 30 hari tersebut tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa apabila ketentuan-ketentuan yang disebutkan dalam undang-undang ini untuk perjanjian kerja waktu tertentu tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut berubah demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu ini diatur pula dalam keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu. Yaitu menjelaskan bahwa syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Selanjutnya PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu yang paling lama 3 (tiga) tahun. Jika pekerjaan tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan, maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
Di sini dijelaskan pula bahwa pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca, dan hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu. Sedangkan pekerjaan-pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman, dan hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan, serta pengusaha yang mempekerjakan mereka harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan, untuk pekerjaan-pekerjaan jenis ini tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Menurut keputusan menteri tenaga kerja dan transmigrasi ini, PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dengan perpanjangan satu kali paling lama 1 (satu) tahun dan tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Dalam hal ini PKWT hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan di luar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.
Untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah waktu dan volume pekerjaannya serta upah didasarkan pada kehadiran, maka dilakukan dengan perjanjian harian lepas dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 hari dalam 1 bulan. Diwajibkan pula membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan pekerjaan dan para buruh, yang sekurang-kurangnya memuat:
a.       Nama/alamat perusahaan atau pemberi kerja.
b.      Nama/alamat pekerja/buruh.
c.       Jenis pekerjaan yang dilakukan.
d.      Besarnya upah dan atau imbalan lainnya.[20]
Untuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu bisa menyaratkan masa percobaan bagi karyawan dengan paling lama 3 (tiga) bulan. Dan dalam masa percobaan kerja tersebut, pengusaha dilarang membayar upah dibawah standar upah yang berlaku.
Di sini perjanjian kerja antara karyawan dengan  perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh biasanya mengikuti jangka waktu perjanjian kerja sama antara perusahaan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini dimaksudkan apabila perusahaan pemberi pekerjaan hendak mengakhiri kerjasamanya dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, maka pada waktu yang bersamaan berakhir pula kontrak kerja antara karyawan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Karena pekerja/buruh adalah karyawan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, maka untuk perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tersebut yang dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Dan perlindungan kerja serta syarat-syarat kerja tersebut sekurang-kurangnya sama dengan pekerja/buruh pada perusahaan pemberi pekerjaan, agar terdapat perlakuan yang sama terhadap pekerja/buruh baik di perusahaan pemberi pekerjaan maupun di perusahaan penerima pekerjaan, sehingga tidak ada lagi syarat kerja, upah dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
Dalam hal ini, perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berisi:
a.       Hubungan kerja
b.      Syarat-syarat kerja
c.       Jangka waktu (PKWT/PKWTT)
d.      Besarnya upah dan cara pembayaran
e.       Jenis pekrjaan
f.       Penempatan kerja[21]
Jika dalam perjanjian kerja tersebut tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekrjaan.

E.     Berakhirnya perjanjian kerja

            Secara umum perjanjian kerja berakhir apabila:
1.      Pekerja meninggal dunia
2.      Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja
3.      Adanya putusan pengadilan dan atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisian hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hokum tetap.
4.      Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Dalam undang-undang ini menjelaskan bahwa perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah. Jika pengusaha perseorangan yang meninggal dunia, ahli warisnya dapat mengakhiri perjanjian kerja setelah merundingkan dengan pekerja/buruh. Namun jika terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak pekerja/buruh menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak pekerja/buruh.
Jika perkerja/buruh yang mininggal dunia, ahli waris pekrja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Dan jika salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah ditetapkan atau tidak sesuai dengan ketentuan di atas, maka pihak yang mengakhiri perjanjian tersebut diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[22]

F.   Outsoursing dapat menekan angka pengangguran

Wacana publik yang berkembang di media, menyoroti masalah tentang semakin meluasnya tekanan pemutusan hubungan kerja (PHK). Dilaporkan, hingga awal Mei 2009 Depnakertrans mencatat sudah puluhan ribu tenaga kerja terkena PHK. Total jumlah tenaga kerja yang murni dipecat mencapai 51.355 orang; 121.003 orang masuk dalam rencana PHK, dan rencana dirumahkan. Jumlah tersebut merupakan hasil pendataan yang diperoleh dari sekitar 239 perusahaan di berbagai sektor industri, seperti manufaktur pengolahan, transportasi, elektronik, pertambangan dan perkebunan. Sementara itu dari daerah, dilaporkan pula tentang kepulangan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) yang juga mengalami peningkatan. Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan (BP3) TKI Medan misalnya mencatat, jumlah TKI Sumatera Utara yang di PHK hingga April 2009, tercatat ada 747 orang yang dipulangkan. Ini berarti, semakin menambah tingkat pengangguran khususnya di daerah ini. Menyikapi permasalahan ini, sejumlah pengamat mendesak agar pemerintah segera mengambil langkah. Antara lain merealisasikan pembenahan pasar domestik dengan menekankan pada kebijakan kredit yang lebih besar ke sektor produksi dengan suku bunga rendah; peningkatan kualitas tenaga kerja, ketersediaan infrastruktur dan pemenuhan kebutuhan energi yang memadai. Masalah-masalah seperti ini dinilai merupakan aspek strategis yang perlu mendapat prioritas pembenahan. Pemerintah juga diminta lebih proaktif membangun komunikasi efektif dengan para pengusaha mulai dari sektor hulu hingga hilir, menjalin hubungan tripartit; bahkan pendekatan secara bilateral melalui diplomasi politik dan ekonomi.
Tak kalah pentingnya juga adalah upaya mendorong tingkat daya beli masyarakat, penurunan suku bunga kredit serta mempercepat pencairan stimulus, mengembangkan usaha mikro, kecil dan menengah/koperasi (UMKM), dan menerapkan berbagai insentif sebagaimana yang telah dijanjikan. Selain itu juga yang tak kalah pentingnya adalah upaya memperketat impor, dan mencegah masuknya barang-barang illegal (selundupan). Karena impor yang cenderung tak terkendali, dan banyaknya barang selundupan; membawa dampak lebih dalam, ketimbang sekadar krisis; karena hal ini lebih merusak struktur pasar meskipun dalam situasi ekonomi normal sekalipun. Dengan demikian diharapkan, semua langkah tersebut akan mampu mengatasi atau setidaknya menekan seminimal mungkin tingkat pengangguran di Tanah Air.[23]
Indonesia dengan jumlah pengangguran terdidik cukup tinggi seharusnya ikut ambil bagian dalam perebutan kue bisnis outsourcing yang sangat menguntungkan itu dengan mempersiapkan SDM yang berkualitas dan siap pakai. Dalam kaitannya dengan status karyawan outsourcing yang sering dipermasalahkan karena sifatnya kontrak kerja, seharusnya dapat dicermati dengan bijaksana. Apapun bentuk status hubungan kerjanya selama hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perudangan yang berlaku maka tidak harus dipermasalahkan karena tidak semua jenis pekerjaan merupakan bisnis inti perusahaan tetapi ada pekerjaan yang jenisnya merupakan kegiatan penunjang. Oleh karena itu outsourcing menjadi salah satu solusi untuk memperluas kesempatan kerja, menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran[24]
Begitu juga yang dikatakan oleh muhaimin iskandar dalam tulisannya bahwa beliau akan mengatasi permasalahan outsourcing dalam program 100 hari. Muhaimin berjanji terlebih dahulu menuntaskan permasalahan outsourcing secara bipartit, yaitu antara Perusahaan dengan Pekerja. Muhaimin menargetkan angka pengangguran bisa ditekan hingga enam persen dari 8,3 persen saat ini. Ia mengatakan, untuk mendorong agar pengangguran dapat dikurangi maka pihaknya akan mengusulkan untuk meningkatkan anggaran belanja bagi program pengurangan pengangguran sebesar 25-50 persen pada 2010.
Proyek-proyek infrastruktur yang akan bergulir di 2010 juga akan sangat membantu dalam mengurangi pengangguran. Pihaknya memperkirakan untuk tenaga kerja formal yang bekerja di luar negeri sekitar 2,5 juta hingga 5 juta tenaga kerja, sedangkan sektor informal bisa mencapai enam juta jiwa sealain itu, muhaimin juga menargetkan pelatihan puluhan ribu tenaga yang terampil mandiri dalam satu tahun. “yang mempunyai kemampuan dalam kewirausahaan, kemampuan bisnis yang sesuai dengan bidang masing-masing. Apa itu agrikultur atau bdang yang sesuai dengan bidang masing-masing. Dengan demikiam, diharapkan akan memacu penyerapan pengangguran dengan cara tidak hanya membangun lapangan kerja. “Tetapi membangun kemandirian yang total, membangun usaha karena pasar Indonesia begitu luas.[25]
Oleh karena itu dengan adanya system outsoursing maka akan memberikan manfaat nantinya, dalam kaitannya dengan status karyawan outsourcing yang sering dipermasalahkan karena sifatnya kontrak kerja, seharusnya dapat dicermati dengan bijaksana. Apapun bentuk status hubungan kerjanya selama hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perudangan yang berlaku maka tidak harus dipermasalahkan karena tidak semua jenis pekerjaan merupakan bisnis inti perusahaan tetapi ada pekerjaan yang jenisnya merupakan kegiatan penunjang. Oleh karena itu outsourcing menjadi salah satu solusi untuk memperluas kesempatan kerja, menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Secara alamiah manusia tentunya akan memperjuangkan status hubungan kerjanya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Jadi biarkan outsourcing menjadi salah satu pilihan pekerjaan daripada tidak bekerja sama sekali.
Di samping manfaat tersebut di atas, program outsourcing dimaksudkan juga untuk mengembangkan kemitraan usaha sehingga satu perusahaan tidak mengusai suatu kegiatan insustri dari hulu ke hilir. Dengan demikian diharapkan akan terjadi pemerataan kesejahteraan dalam masyarakat dimana kegiatan industri tidak hanya terpusat di perkotaan tetapi juga merata sampai ke daerah-daerah yaitu dengan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengembangan kegiatan usaha kecil menengah dan koperasi. Oleh karena itu pemerintah sebagai regulator memegang peranan penting untuk menumbuh-kembangkan bisnis outsourcing yang sehat dan adil.




G.  Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari permasalahan diatas, maka penulis mengemukakan kesimpulan bahwa  Dalam UU no 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, menjelaskan konsep outsourcing dengan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau dengan penyediaan jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada pihak lain (outside provider) dimana tindakan ini terikat dalam kontrak kerjasama. meskipun kenyataannya marak dilaksanakan.
kan tetapi Istilah outsourcing secara eksplisit memang tidak ditemukan dalam pasal UUK, namun ketentuan yang mengatur outsourcing tertera dalam pasal 64, pasal 65 dan pasal 66 dan merupakan tonggak baru yang mengatur dan melegalisasi sistem kerja outsourcing di Indonesia.
Dengan bisnis outsourcing selain mengatasi tingginya angka pengangguran, para pekerja juga merasa lebih bangga bekerja sebagai profesional di perusahaan multinasional dengan penghasilan yang jauh lebih besar. Apapun bentuk status hubungan kerjasama itu, selama hak dan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan an yang berlaku. Maka tidak harus dipermasalahkan, karena tidak semua jenis pekerjaan merupakan bisnis inti perusahaan tetapi ada pekerjaan yang jenisnya merupakan kegiatan penunjang.
Oleh karena itu outsourcing menjadi salah satu solusi dalam memperluas kesempatan kerja, menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Secara alamiah manusia tentunya akan memperjuangkan status hubungan kerjanya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Jadi biarkan outsourcing menjadi salah satu pilihan pekerjaan daripada tidak bekerja sama sekali.
Di samping manfaat tersebut di atas, program outsourcing dimaksudkan juga untuk mengembangkan kemitraan usaha sehingga satu perusahaan tidak mengusai suatu kegiatan industri saja. Dengan demikian diharapkan akan terjadi pemerataan kesejahteraan dalam masyarakat dimana kegiatan industri tidak hanya terpusat di perkotaan tetapi juga merata sampai ke daerah-daerah yaitu dengan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi nasional melalui pengembangan kegiatan usaha kecil menengah dan koperasi. Oleh karena itu pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan mempunyai peranan  yang sangat penting dalam menumbuh-kembangkan bisnis outsourcing yang sehat dan  adil dalam mengawasi antara tenaga kerja dengan pihak outsoursingnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Tunggal Wijaya, Outsourcing Konsep dan Kasus, Jakarta, Hrvarindo, 2008
Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi di Indonesia, Jadarta, PT Elex Media Komputindo, 2004
R. Subekti dan R. Tjiro Sudibyo, KUHPerdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramitra, 1995
Keputusan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor KEP. 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Keputusan menteri Tnaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
Keputusan menteri Tnaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia nomor KEP. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
Undang-undang no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Wihoyo Soedjono, Hukum Perjanjian Kerja, Yogyakarta, Rineka Cipta, 1991
Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
Oleh Thoga M. Sitorus http://hariansib.com/?p=107609,diakses pada tanggal 10 juni 2010


 


 




[1] Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
[2] ibid
[3]Oleh Thoga M. Sitorus http://hariansib.com/?p=107609 ,diakses pada tanggal, 29 juni 2010
[4] Chandra Suwondo, Outsourcing Implementasi Di Indonesia, (Jadarta: PT Elex Media Komputind2004). 2

[5] Amin Widjaja Tunggal, Outsourcing Konsep Dan Kasus, (Jakarta: Hrvarindo, 2008). 11
[6] UU Tentang Ketenagakerjaan, h.101
[7] Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI No. 101 Tentang Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa/Buruh
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] UU Tentang Ketenagakerjaan, h. 101
[11] Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI No 220 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.

[12] Amin Widjaja Tunggal, Outsourcing Konsep Dan Kasus,... 40
[13] Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi RI No 220. Tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
[14] www.panmohamadfaiz.com
[15] R. Subekti & R Tjirosudibio, KUHPerdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitra, 1995), 339
[16] Keputusan Meneri Tenaga Kerja nomor KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
[17] Amin Widjaja Tunggal, Outsourcing Konsep Dan Kasus,... 46
[18] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP nomor 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
[19] www.panmohamadfaiz.com
[20] Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor KEP 100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.

[21] Amin Widjaya Tunggal, Outsourcing Konsep dan Kasus,... 47
[22] Undang-Undang Ketenagakerjaan, h. 100
[24]Oleh Thoga M. Sitorus http://hariansib.com/?p=107609,diakses pada tanggal 10 juni2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar